Perjodohan Anak Dan Perang Pemikiran
Oleh ; Siti Aisyah Nurmi – Senin, 7 Zulqa'dah 1435 H / 1 September 2014 15:30 WIB
Belum lama ini ada berita, seorang wanita
muda keturunan Bangladesh”berhasil” dibebaskan dari”tahanan” orangtuanya
di Bangladesh dan kini kembali ke Inggris, negeri yang ia (wanita tersebut)
menyebutnya sebagai ”home”.
Humayra Abedin, seorang dokter yang sedang
belajar di Inggris, ditahan orangtuanya di rumah dan rumahsakit jiwa karena akan
dipaksa menikah di Bangladesh. Orangtuanya memanggilnya pulang dari Inggris
dengan dalih ibunya sakit keras, padahal maksud sebenarnya adalah tidak setuju
dengan hubungan Humayra dengan seorang Hindu. Dan orangtuanya ingin menikahkan
sang dokter (dengan paksa) di Bangladesh.
Tindakan pembebasan ini dimungkinkan oleh
sebuah undang-undang Forced Marriage Act yang baru saja
bulan lalu diberlakukan di Inggris untuk mencegah pernikahan paksa bagi
penduduk Inggris Raya. Meskipun dokter Humayra bukan warga negara Inggris,
ternyata Pengadilan Inggris mampu mempengaruhi pengadilan Bangladesh untuk
memaksa orangtua dokter Humayra membawanya ke pengadilan dan kemudian
menjemputnya dengan paksa dari tangan kedua orangtuanya di negerinya sendiri
untuk dibawa ke Inggris.
Sungguh hebat makar dunia Barat saat ini atas dunia Islam sampai-sampai sebuah negara harus rela menyerahkan warga negaranya dari negerinya sendiri untuk dibawa ke negara Barat dengan alasan”untuk dilindungi”. Alangkah malangnya Bangladesh yang membiarkan kedaulatannya dilecehkan dan mengalahkan kepentingan warga negaranya yang lain (yaitu kedua orangtua Humayra) untuk memuaskan syahwat negara Barat, padahal kedua orangtua Humayra bermaksud menegakkan syari’at Islam dengan tidak mengizinkan anaknya terus menjalin hubungan dengan boyfriend-nya yang Hindu.
Pers Barat merilis masalah ini dari sisi ”kebebasan
untuk menentukan pilihan” bagi seorang anak. Pers Barat mengecam
tindakan orangtua Humayra yang mengekang kebebasannya dan berencana menikahkan
wanita ini dengan orang lain di Bangladesh.
Kasus yang menarik, dengan tidak bermaksud
mencampuri urusan dokter Humayra Abedin tersebut, cobalah kita lihat dari sisi
lain.
Beberapa waktu yang lalu juga ada berita
di media elektronik Barat tentang keberhasilan seorang anak perempuan di bawah
umur untuk mendapatkan ”Khulu” atau gugat cerai dari suaminya
karena ia sebenarnya tidak setuju dinikahkan dengan orang yang dipilihkan
orangtuanya alias ia sebenarnya menikah karena dipaksa oleh orangtuanya.
Kejadian ini terjadi di Yaman dan konon ada LSM asing yang terlibat membantu
gugat cerai si anak dan sempat menarik perhatian mantan firstlady Amerika
yaitu Hillary Clinton.
Di tanah air seorang Ustadz Puji sempat
menjadi berita karena menikahi anak di bawah umur.
Sisi yang penting diamati di sini adalah:
Apakah orangtua memang bersalah jika mengatur perjodohan anaknya? Apakah
orangtua bersalah jika tidak setuju anaknya menikah dengan bukan muslim dan
lebih memilih mencarikan jodoh lain bagi anaknya? Betapapun sang anak sudah
dewasa dan sudah berpendidikan tinggi? Apakah orangtua bersalah jika menikahkan
anaknya sejak masih di bawah umur?
Jika saja dalam kacamata syari’at Islam
semua hal di atas dinilai ”salah”, maka jelaslah syariat Islam akan
mengharamkan hal tersebut dan dokter Humayra boleh-boleh saja ber-e-mail dengan
kawan-kawannya di Inggris untuk minta tolong dibebaskan dan kemudian Pengadilan
Inggris berhak menuntut pembebasan dokter ini dari orangtuanya.
Dipaksa menikah memang tidak sesuai dengan
syariat Islam. Seorang anak gadis berhak menerima atau menolak calon yang
diajukan orangtuanya, namun anak-pun tidak boleh memaksakan kehendak dan
kemudian memilih jodoh yang bahkan bukan muslim. Bukankah seorang anak gadis
dinikahkan oleh walinya yaitu orangtua?
Berita-berita atau peristiwa-peristiwa di
atas selalu dikaitkan dengan satu isyu yang sering membuat geram umat Islam: Human
Rights/ Hak Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia (HAM) seolah sebuah undang-undang yang dapat
menyebabkan orangtua boleh kehilangan hak asuh terhadap anaknya, boleh
kehilangan hak untuk mengatur perjodohan anak dan sebagainya. Bahkan
membolehkan seseorang menikah dengan jodoh pilihannya sendiri, meskipun beda
agama. Dengan kata lain, HAM dianggap lebih tinggi dari hukum Islam meskipun terhadap
ummat Islam sendiri.
Begitulah realita dunia kita saat ini,
khususnya dunia pemberitaan. Dominasi media Barat yang dikendalikan oleh
jaringan musuh-musuh Islam, selalu saja mengangkat berita dan peristiwa yang
sengaja untuk memenangkan Perang Pemikiran (Ghazwul Fikry) yang
mereka lakukan.
Tujuan mereka sederhana: menghancurkan
sendi-sendi Islam satu persatu, dan Syari’at Islam termasuk yang utama
dihancurkan.
Di lain pihak, ummat Islam sendiri sudah
mengalami begitu banyak pelarutan dan percampuran nilai dengan berbagai budaya
setempat sehingga syari’at Islam-pun tercemar oleh nilai-nilai budaya jahiliyah
yang tidak fitri, tidak sesuai dengan nilai dari Allah SWT.
Contoh tentang dokter Humayra Abedin yang
berasal dari budaya Hindi, di dalam budaya Hindi lama yang Hindu bahkan wanita
dianggap sebagai barang milik yang jika suaminya meninggal seharusnya ikut
setia mati dibakar saat kremasi suaminya. Pemaksaan dalam perjodohan anak
perempuan merupakan keharusan dalam budaya hindi lama. Rupanya ketika Islam
masuk ke tanah India (sekarang India, Pakistan, Bangladesh, Kashmir) budaya
Hindi masih mewarnai adat istiadat yang dipraktekkan masyarakat yang sudah
masuk Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar